Jumat, 05 November 2021

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita sebagai sebuah bentuk kekayaan budaya. Oleh karenanya, cerita tutur atau folklor yang disampaikan oleh kakek nenek kita, maupun para sesepuh atau pinisepuh, itu sudah ada sejak dahulu kala, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi hingga kini. Oleh karenanya, sumber sejarah tidak hanya bersumber dari data tekstual seperti prasasti maupun susastra, sebab cerita tutur juga termasuk di dalamnya.

Masyarakat Cane (Candisari, Sambeng, Lamongan) hingga kini masih mempertahankan dan melestarikan tradisi tuturnya. Istimewanya, Cane mempunyai cerita tutur mengenai raja Airlangga. Tentunya hal ini semakin memperkuat bukti bahwa prasasti Cane memang berasal dari sana. Prasasti Cane (943 Çaka/27 Oktober 1021 M) dikeluarkan oleh raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawangça Airlangga Anãntawikramottunggadewa, dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewi sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino untuk pertama kalinya.

Foto Bersama Batu Prasasti Berukir Garuḍamukha Untuk Peringatan 1000 Tahun Lahirnya Prasasti Cane Di Bhumi Lamongan.  

Prasasti yang dibubuhi tanda kerajaan Garuḍamukha ini merupakan prasasti pertama pada masa pemerintahan raja Airlangga. Meskipun ada versi lain yang mengatakan bahwa prasasti Silet (940 Çaka) adalah yang tertua. Akan tetapi, bila merujuk pada transkrip Stutterheim di TBG 80, 1940:361, juga transkrip Damais di EEI IV 1955, 47 halaman 233-234, di prasasti Silet tidak ditemukan nama Airlangga maupun kata tinaṇḍa Garuḍamukha. Prasasti Cane berisi tentang pemberian anugerah status sima kepada desa Cane atas dasar rasa simpati raja kepada rakyat Cane yang bersedia menjadikan desa mereka sebagai penepi kulwan atau benteng tepi Barat dari batas kerajaan Airlangga. Prasasti yang disimpan di museum Nasional dengan nomer koleksi D 25 ini masuk pada fase konsolidasi, yakni fase dimana pemberian anugerah sima kepada desa tertentu karena jasa masyarakatnya dalam membantu raja pada saat peperangan.

Menurut folklor atau cerita tutur masyarakat Cane, dikisahkan bahwasanya Airlangga adalah seorang Lelono (pengembara). Di suatu hari dalam pengembaraannya, Airlangga pergi menyebrangi sungai Brantas untuk menuju desa Cane. Dalam perjalanan ke Cane waktu itu, diceritakan pula Airlangga melewati sungai yang bernama Dung Bedes. Ketika sedang melewati sungai Dung Bedes, Airlangga dibuat terperangah oleh sosok gadis cantik bak bidadari yang dijumpainya saat sedang mandi. Perempuan ayu itu adalah seorang kembang desa dari Cane yang bernama Puniti, dan jatuh cintalah Airlangga.

Akhirnya, Airlangga mempersunting Puniti dan menjadikannya sebagai istri selir yang pertama. Dari pernikahannya dengan Puniti, Airlangga dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Panji Garasakan (Mapañji Garasakan). Airlanggapun menjalani kehidupan bahagia di Cane. Berikutnya, ketika sang anak berusia 12 tahun, Airlangga meninggalkannya untuk pergi ke Kediri. Singkat cerita, setelah beranjak dewasa, Panji Garasakan hijrah ke Kediri untuk mencari ayahnya. Sesampainya di Kediri, Panji Garasakan melamar sebagai prajurit istana. Karena istana tahu bahwa dia adalah anak Airlangga, maka Panji Garasakan pun langsung diterima dan diberi jabatan tinggi.

Kegiatan Jambore Garuḍamukha Untuk Peringatan 1000 Tahun Lahirnya Prasasti Cane Di Bhumi Lamongan.  

Folklor Cane tersebut memberikan keterangan penting bahwa Mapañji Garasakan dan Garuḍamukha sama-sama terlahir di bumi Janggala, yakni Cane (Lamongan). Mungkin inilah jawaban mengapa seluruh prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Janggala didalamnya terdapat tanda kerajaan Garuḍamukha (Lambang/Cap Kerajaan Airlangga). Cerita tutur dari Cane juga menjawab teka teki mengenai berita dalam prasasti Garamãn (975 Çaka/1053 M) perihal penyebutan Hãji Panjalu sebagai kakak oleh Mapañji Garasakan. Seperti yang terberitakan pada lempeng ke-2 baris ke-5 recto: "..mapalaha lan kaka nirã Hãji Panjalu.." ; "..menyerang kakak beliau (yaitu) Hãji Panjalu..". Mengingat dalam versi cerita tutur Cane disebutkan bahwa Mapañji Garasakan (raja Janggala) adalah anak laki-laki Airlangga dengan istri selir yang pertama (istri muda), maka wajar bila usianya lebih muda dari Hãji Panjalu. Disini bisa diasumsikan bahwa Hãji Panjalu (raja Panjalu) adalah anak Airlangga dengan permaisuri (istri tua).

Dalam Sêrat Calon Arang juga disebutkan bahwa Airlangga mempunyai dua anak laki-laki yang sama-sama disayanginya. Oleh karenanya Airlangga akhirnya mengutus Pu Bharadah untuk membagi kerajaannya (Medang Kahuripan) menjadi dua, yakni Janggala dan Panjalu pada tahun 974 Çaka/1052 M. Berita tentang terbaginya kerajaan Airlangga terdapat pada prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M, prasasti Wurare 1211 Çaka/21 November 1289 M, Kitab Calon Arang, serta Kakawin Nãgarakṛtãgama. Kakawin Nãgarakṛtãgama pupuh 68 mengisahkan: "dengan menuangkan (air=4) kendi dari langit (Pu=7) Bharãda (membagi=9) kerajaan Airlangga" [Hinzler 1979 : 483].

Panitia Jambore Garuḍamukha Foto Bersama Bapak Bupati Lamongan.  

Nampaknya, kebijakan Airlangga untuk membagi dua kerajaannya merupakan sebuah keputusan yang salah. Sebab, setelah kerajaan Airlangga terbagi menjadi Janggala dan Panjalu, perseteruan antara keduanya seakan tak pernah sirna. Entah faktor apa yang mendasari perebutan hegemoni antar kedua kerajaan bersaudara itu. Sejarah mencatat, selain prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M (Janggala), perang saudara antara Mapañji Garasakan dengan Hãji Panjalu juga terberitakan dalam prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M (Janggala). Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno bahwa "yang paling penting dari belajar sejarah adalah belajar dari sejarah, warisilah apinya bukan abunya". Kita sebagai generasi penerus bangsa yang melek sejarah harus bisa belajar dari sejarah, agar perpecahan, konflik, dan perang saudara bisa terhindar dari bumi Indonesia.

Warisilah apinya bukan abunya. Mari kita warisi semangat juang Airlangga yang mampu membangun kembali negaranya dari kehancur leburan akibat peristiwa Mahapralaya, hingga bisa membawa Jawa di puncak kedigdayaannya. Sejarah mencatat, Airlangga mampu memanfaatkan peluang dan berkontribusi positif dalam konstelasi politik perdagangan dunia. Sehingga, dia bisa meraih momentum dan membawa kerajaannya untuk ikut serta dalam Kancah perdagangan International. Bukti Airlangga sukses dalam percaturan dunia terberitakan dalam prasasti Cane yang menyebut adanya bangsa asing yang dikenai pajak (wārggā kilalān):
"..i kanaŋ wārggā kilalān kliŋ āryyā sińhala paņdikira dravida campa kmir rĕmĕn..".
"..adalah wargga kilalan (warga yang dikenai pajak khusus) yaitu klin (keling) aryya (arya) sinhala (Srilangka) pandikira (Pandikira dari India) drawida (salah satu suku dari India) campa (Vietnam) kmir (Khmer) remen (atau Mon adalah salah satu suku dari Burma)..". 

Foto Bersama Maestro Pahat Patung Trowulan, Pemahat Batu Prasasti Berukir Garuḍamukha Untuk Peringatan 1000 Tahun Lahirnya Prasasti Cane Di Bhumi Lamongan.  

Adanya penyebutan bangsa asing di prasasti Cane, menunjukkan bahwa kerajaan Airlangga pada masa itu telah menjalin hubungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dengan bangsa-bangsa dari Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Hal inilah yang mendasari Poerbatjaraka menjadikan Garuḍamukha di prasasti Cane sebagai inspirasi untuk dijadikan lambang negara Indonesia, yakni burung Garuḍa. 

Rabu, 03 Juni 2020

REKAM SEJARAH KERAJAAN JAṄGALA

Sejarah kerajaan Jaṅgala diawali dengan perpindahan pusat kekuasaan Medang ke Jawa Timur dengan Pu Sindok sebagai rajanya. Sindok yang naik takhta karena pernikahannya dengan putri dari Rakryan Bawang (Raja Wawa), yakni Çrĩ Prameswari Çrĩwardhani Pu Kêbi, mempunyai anak perempuan bernama Isanatunggawijaya. Kemudian, Isanatunggawijaya menggantikan posisi Sindok sebagai raja. Isanatunggawijaya menikah dengan Lokapala, dan mempunyai anak bernama Makutawangsawardhana, yang kelak menggantikan ibunya memegang tampuk takhta kerajaan Medang.

Makutawangsawardhana mempunyai seorang putri bernama Mahendradatta/Gunapriya Dharmapatni yang menikah dengan raja Udayana (Bedahulu - Bali), dan melahirkan Airlangga. Setelah pemerintahan Makuttawangsawardhana, takhta kerajaan Medang selanjutnya diwariskan kepada putranya, yakni Çrĩ Dharmmawaṅça Tguh Anantawikramattunggadewa. Çrĩ Dharmmawaṅça mempunyai seorang putri yang kemudian dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yakni Airlangga. Dan, takhta kerajaan Medang-pun selanjutnya dipegang oleh Airlangga. 

Airlangga kemudian membagi kerajaan Medang menjadi dua, yakni Jaṅgala dan Paṅjalu. Takhta kerajaan Jaṅgala diberikan kepada anak keturunan Airlangga dengan permaisuri (trah Airlangga). Sedangkan, takhta kerajaan Paṅjalu diberikan kepada putra dari Çrĩ Samarawijaya Dharmmasuparṇacaraṇa Tguh Uttunggadewa, yaitu Çri Mahãrãjyetêndrakara (Palade[wa]) Wuryya Wiryya Parakrama Bhakta, yang mengeluarkan prasasti Mãtaji 973 Çaka/1051 M. Çrĩ Samarawijaya merupakan anak dari Çrĩ Dharmmawaṅça Tguh Anantawikramattunggadewa. Jadi, Çrĩ Samarawijaya adalah adik dari permaisuri Airlangga atau adik ipar sekaligus sepupu Airlangga. 

Prasasti Tugu, Terletak di Dusun Tugu, Desa Tugu, Kecamatan Mantup - Lamongan (ROD, Register 1917) 

Kerajaan Jaṅgala sendiri mempunyai 3 orang raja. Berikut adalah nama-nama Raja Jaṅgala:
1. Çrĩ Mahãrãja Rakai Halu Mapañji Garasakan. Prasasti:
- Prasasti Malênga 974 Çaka/1052 M
- Prasasti Garamãn 975 Çaka/1053 M (Dusun Graman, Desa Sambangrejo, Kec Modo - Lamongan)
- Prasasti Kambang Putih (t.t / tanpa tahun)
- Prasasti Truneng/Turun Hyang B (verso) 976 Çaka/1054 M

2. Çrĩ Mahãrãja Mapañji Alañjung Ahyês. Prasasti:
- Prasasti Bañjaran 975 Çaka/1053 M

3. Çrĩ Mahãrãja Rake Halu Pu Juru Çri Samarotsaha Karnnakesana Ratnaçangkha Kirtisingha Jayantaka Uttunggadewa. Prasasti:
- Prasasti Sumengka 981 Çaka/1059 M 

Pada semua prasasti yang dikeluarkan oleh ke tiga raja Jaṅgala tersebut terdapat kalimat atau Lāñchana Garuḍamukha (Lambang/Cap Kerajaan Airlangga). Menurut Boechari, kenyataan ini menunjukan adanya hubungan langsung dengan raja Airlangga.

Setelah pemerintahan Çrĩ Samarotsaha, kerajaan Jaṅgala tidak muncul lagi dalam sejarah klasik. Andai saja seluruh prasasti batu yang tersebar di kabupaten Lamongan kondisinya tidak rusak/aus dan bisa dibaca, tentunya riwayat perjalanan kerajaan Jaṅgala akan bisa dibaca dengan lebih jelas dan lebih lengkap lagi.

Garuḍamukha Lāñchana

Setelah Kerajaan Jaṅgala lama menghilang dari Dunia Persilatan, kemudian muncul nama Çri Harsawijaya, beliau adalah raja di Bhūmi Jaṅgala (Kerajaan vasal/bawahan) di masa Kerajaan Tumapel/Singhasari. Menurut prasasti Mula-Malurung (1177 Çaka/1255 M) lempeng VI verso baris ke 6, terberitakan bahwa Çri Harsawijaya, kapernah pahulunan atau keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt (Bhatara Wisnuwardhana, raja ke-3 Singhasari), ditempatkan di singgasana ratna di Bhūmi Jaṅgala. 

Çri Harsawijaya sebagai penguasa di Bhūmi Jaṅgala juga terberitakan dalam prasasti Balawi (Blawirejo, Kedungpring, Lamongan) yang dikeluarkan pada tanggal 15 Paro Gelap (Krsnapaksa), bulan Waisaka tahun 1227 Çaka, atau bertepatan dengan tanggal 24 Mei 1305 M. Prasasti Balawi memberitakan bahwa keswatantraan Balawi sebenarnya telah diberikan sejak masa pemerintahan Çri Harsawijaya (raja di Bhūmi Jaṅgala), namun belum dikukuhkan dengan prasasti. Posisi Çri Harsawijaya sebagai raja di Bhūmi Jaṅgala tentunya sesuai dengan letak Desa Balawi (Blawirejo, Kedungpring, Lamongan), yang mana wilayah tersebut merupakan wilayah Bhūmi Jaṅgala.

Menurut prasasti Mula-Malurung lempeng VI verso baris ke 6, Çri Harsawijaya merupakan keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt. Sedangkan, menurut kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana Pupuh 46 bait 2, Dyah Lembu Tal adalah keponakan dari Narāryya Sminiŋrāt. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Dyah Lembu Tal dan Çri Harsawijaya sebenarnya merupakan orang yang sama. 

Dyah Lembu Tal atau Çri Harsawijaya adalah ayah dari Raden Wijaya (Pendiri Majapahit), seperti yang terberitakan dalam Kakawin Nãgarakṛtãgama atau Deçawarṇana pupuh 47 bait 1: "..dyah lmbu tal sira maputra ri saɳ narendra.." , "..Dyah Lembu Tal itulah bapak Baginda Nata..". Nama Çri Harsawijaya kemudian menjadi nama Dyah Wijaya atau Raden Wijaya. Jadi, Raden Wijaya punya nama yang 'Nunggak Semi' dengan ayahnya.

Dan, akhirnya dapat disimpulkan bahwa kerajaan Majapahit merupakan trah kerajaan Jaṅgala. 

JAṄGALA JAYATI ✊✊

Senin, 01 Juni 2020

KISAH PERLAWANAN PANJI SURENGRANA (BUPATI LAMONGAN 1707-1723) ATAS MATARAM

Kisah perlawanan Panji Surengrana (Bupati Lamongan 1707-1723) atas Mataram ini terberitakan dalam Babad Tanah Jawi yang dengan cukup detailnya mengulas kiprah dari para keturunan Kyai Ageng Brondong atau trah dari Pangeran Lanang Dangiran mulai dari kedua anaknya, yaitu Hanggawangsa (Jangrana) dan Hanggajaya, hingga cucu-cucunya, yakni Arya Jaya Puspita, Panji Surengrana, Panji Kerta Yuda, dan Jaka Tangkeban. Seperti diketahui bahwa keturunan dari Kyai Ageng Brondong (Brondong - Lamongan) banyak yang menjabat sebagai Bupati di berbagai daerah di Jawa Timur termasuk di Lamongan. 

Pada pengangkatan Susuhunan Pakubuwana I, Surengrana diberikan gelar Panji dengan jabatan sebagai Tumenggung yang berkuasa atas wilayah Lamongan. Namun, pemberontakan Surabaya atas Mataram pada masa Amangkurat IV, yang di picu oleh pembunuhan Jangrana II oleh algojo Mataram atas permintaan VOC, telah menghantarkan Tumenggung Panji Surengrana (Lamongan) dan Adipati Arya Jaya Puspita (Surabaya, kakak Surengrana) dalam perang campuh yang berkepanjangan melawan Mataram. 

Perayaan pada upacara pelantikan bupati di Lamongan, sekitar tahun 1910 (Sumber: KITLV).

Perang antara koalisi Lamongan - Surabaya melawan Mataram akhirnya berakhir dengan meninggalnya Arya Jaya Puspita pada 1721, serta penangkapan Panji Surengrana yang kemudian dibuang ke Colombo - Srilanka bersama dengan keturunan Surapati pada 1723. Pada kisaran tahun itu, Lamongan dikisahkan menjadi Karang Abang, karena kota ini dibakar habis sama Mataram. Kemudian, oleh Amangkurat IV jabatan Bupati Lamongan selanjutnya diserahkan kepada Rangga Permana.

BERIKUT PETIKAN KISAH KETERLIBATAN PANJI SURENGRANA (BUPATI LAMONGAN 1707-1723) DALAM PERANG SURABAYA MENURUT BABAD TANAH JAWI:

Pada waktu itu Arya Jaya Puspita sudah menggantikan kakaknya menjadi adipati di Surabaya. Beliau menghadap, sowan ke Karta Sura hanya sekali bertepatan bulan Mulud. Bala Surabaya dikerahkan dibawa semua lengkap dengan senjata perangnya, jumlahnya kurang lebih lima ratus orang.

Kedua adiknya ikut juga, yaitu Panji Karta Yuda dan Panji Surengrana beserta dengan balanya masing-masing seribu orang. Sang Nata ketika melihat Ki Arya Puspita bersama balanya siap dengan pesenjataan berperang begitu senang hatinya. Beliau lalu mengundang semua orang se-negara Kartasura supaya melapisi ukiran kerisnya dengan emas atau selaka. Sudah terjadi dan ternyata begitu bagus. Mulai saat itulah adanya ukir berlapis. 

Ki Jaya Puspita ada di Karta Sura tidak lama, segera kembali ke Surabaya dan tidak mau sowan lagi, berniat makar. Sang Prabu lalu utus Ki Tumenggung Sura Brata bersama Ngabei Wira Menggala untuk memanggil Ki Jaya Puspita di Surabaya. Kedua utusan di Surabaya setengah bulan, tetapi Ki Jaya Puspita selalu menunda saja. Ki Suma Brata dan Ki Wira Menggala mengetahui jika dianggap enteng saja, lalu minta pamit untuk kembali ke Kartasura serta melaporkan kepada sang Prabu.

Peserta parade Senennan (perlombaan setiap Minggu) di Jawa, mungkin di Lamongan, sekitar tahun 1910 (Sumber: KITLV).

Sang Nata segera berkirim surat kepada Kumendur di Semarang memberi tahu bahwa Ki Jaya Puspita mogok, berniat makar. Utusan pembawa surat segera berangkat, sudah ketemu Kumendur. Tuan Kumendur setelah membawa surat sangat gugup, lalu berangkat ke Surabaya lewat laut. Adapun Ki Jaya Puspita sepeninggal Ki Suma Brata lalu memberi perintah kepada adiknya yang bernama Panji Surengrana, agar mulai menaklukkan Gresik. Panji Surengrana lalu berangkat bersama balanya orang Lamongan. Mereka lewat Giri terus ke Gresik lalu terjadi perang merebut benteng. Tetapi tidak berhasil, Panji Surengrana mundur ke Lamongan. 

Tibalah tuan Kumendur di Surabaya bertemu dengan sang Adipati Jaya Puspita, Kumendur bertanya  tentang Panji Surengrana dalam menaklukkan Gresik, Jawab Ki Jaya puspita, berpura-pura siap untuk memarahi adiknya. Kumendur bertanya lagi sebab-sebab Ki Jaya Puspita tidak mau sowan ke Kartasura. Lalu, dijawab bahwa beliau akan sowan, Kumendur setelah mendengar jawaban Ki Jaya Puspita demikian serta sikapnya yang begitu menghormati jadi tidak enak hatinya, la lalu memberi perintah membuat benteng di Gresik. Setelah selesai, Kumendur lalu kembali ke Semarang.

Sepeninggal Tuan Kumendur, Panji Surengrana lalu kirim utusan minta bantuan ke negara Bali. Tidak lama kemudian bantuan datang sejumlah empat ratus orang di bawah pimpinan Dewa Kaloran. Lalu mengepung Gresik. Orang-orang Gresik geger, lari saling bertubrukan sebab tidak mengira kalau ada musuh datang di waktu malam. Harta kekayaannya habis dijarah rayah. Setelah Gresik takluk, orang-orang Bali kembali ke Bali. Mereka berjanji besok akan kembali. Panji Surengrana juga memberi penghargaan harta kekayaan yang dipersembahkan kepada Rajanya.

Selanjutnya Ki Jaya Puspita memerintahkan kedua adiknya berdua agar mulai menaklukkan orang manca-negari dan orang pesisir. Kedua saudara berdua itu lalu membagi-bagi perintah. Panji Karta Yuda mengerahkan bala seribu orang memukul negera Japan. Sudah berhasil. Lalu diteruskan ke Wira Saba. Bupati sepi berkumpul di Kediri, berniat menghadapi perang. Di Wira Saba seorang bupati sudah diangkat oleh Panji Karta Yuda. Panji Karta Yuda bersama balanya lalu ke Kediri. Disitu disambut perang. Orang Kediri kalah, bupatinya lari ke Karta Sura.

Jamuan Makan Siang bersama Gouverneur-General D. Fock, Algemeen Secretaris Ch.JJM Welter, Residen van Soerabaja WP Hillen, Regent van Lamongan Raden Ajoe, Mejuffrouw Tellegen, Mevrouw Kroesen, dan 3 ajudan van de Gouverneur-General, bertempat di kediaman Regent van Lamongan Raden Ajoe, tahun 1922 (Sumber: KITLV). 

Sementara itu Panji Surengrana mengerahkan bala seribu memukul Sidayu. Mereka disambut perang ramai sekali. Banyak yang mati. Sidayu berhasil ditaklukkan. Panji Surengrana lalu berputar memukul Jipang. Juga sudah berhasil ditaklukkan. Bupati lari, sebab serangan mendadak itu. Panji Surengrana kembali menggempur Tuban. Sudah kedahulan Panji Surengrana beserta balanya. Bupati Tuban lari ke Karta Sura.

Pada suatu hari sang Prabu di Karta Sura sedang miyos sinewaka. Para bupati pesisir, manca-negari di Kedu, Banyu Mas lengkap semua. Bupati dalam, serta para putra sentana juga sudah lengkap. Di pagelaran penuh sesak tidak ada selanya. Ki Patih Cakra Jaya melaporkan bahwa Ki Adipati Jaya Puspita benar-benar berbuat makar. Beliau sudah menaklukkan tanah pesisir dan manca-negari. Japan, Wira Saba, Kediri Jipang sudah takluk. Apalagi di Sidayu dan Tuban, kedua-duanya sudah dirusak oleh orang Surabaya. Sang Nata berbicara lantang, "Cakra Jaya, segera laporkan kepada Tuan Kumendur di Semarang, serta mintalah bantuan serdadu Kompeni. Dan kepadamu berangkatlah, kerahkan orang pesisir semua, lewatlah Semarang untuk minta bantuan bala serdadu Kompeni. Dan perintahkan kepada Tumenggung Karta Negara untuk berangkat ke Surabaya lewat Jaya Raga untuk memimpin bala manca-negari". 

Ki Patih menyatakan kesediaannya. Sang Prabu masuk ke kedaton. Ki Patih dan Ki Tumenggung Karta Negara lalu bersiap-siaga serta sudah mengirim surat ke Semarang. Setelah siap semuanya, berangkatlah Ki Patih ke Semarang bersama balanya. Mereka berhenti di sana menunggu bantuan serdadu Kompeni dari Betawi. Sementara itu Ki Tumenggung Karta negara juga sudah berangkat lewat Jagaraga, mengerahkkan bala manca-negari semua. Cuma bupati Grobogan dipisah ikut barisannya Ki Patih. Bupatinya bernama Surya Winata dan Sasra Winata adalah cucu Panembahan Cakraningrat almarhum. Dahulu pernah manjadi bupati di Madura lalu dipindah ke Grobongan. Gerakan pasukan Karta Negara sudah sampai di dusun Maja Ranu. Bala manca-negari sudah berkumpul. Bupati Jipang sudah pula menjadi satu di situ. Begitu besar bala yang ada lengkap dengan persenjataannya.

Lalu terjadilah peperangan dengan Panji Surengrana, banyak yang tewas, lalu mundur beserta balanya ke Lamongan. Kota Jipang sudah diduduki Ki Tumenggung Karta Negara. Bala sumbangan dari Bali waktu itu datang lagi ada di Gresik, dipimpin oleh Dewa Kaloran membawa tiga bupati, yaitu Dewa Saka, Dewa Sade, Dewa Bagus Bala. Pasukan Bali ada tujuh ratus orang. Dewa Kaloran sudah bertemu dengan Panji Surengrana. Mereka akan menggempur Jipang lagi.

Di Gresik ada seorang saudagar kaya-raya, banyak balanya bernama Juragan Bali. Tampangnya gagah perkasa, perangainya tidak sabaran, memaksakan kehendak, pernah perang di laut. Ki Juragan itu dijadikan prajurit pengamuk di dalam perang oleh Panji Surengrana. Ki Juragan memiliki banyak jurus andalan. Anak-istrinya ditempatkan di Surabaya sebagai jaminan supaya Ki Juragan tidak tinggal gelanggang, curi lari waktu perang. 

Ki Surengrana lalu berangkat beserta balanya untuk merebut Jipang. Beliau membawa seratus orang Bali. Ki Juragan beserta bala budak-belian ditempatkan di ujung barisan. Setibanya di Jipang terjadilah peperangan ramai sekali dengan Ki Tumenggung Karta Negara serta manca-negari. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Ki Tumenggung Karta Negara beserta sisa bala mancanegari berlari, berhenti di Dusun Brongkol sebelah Barat Jipang sebab diamuk Ki Juragan beserta balanya. Jipang sudah diduduki Panji Surengrana beserta balanya.

Lalu Ki Panji Surengrana mendengar berita kalau Sidayu dan Tuban sudah direbut oleh bala pesisiran atas perintah Patih Cakra Jaya. Sekarang beliau masih di Semarang menunggu bantuan serdadu Kompeni dari Betawi. Panji Surengrana setelah mendengar berita itu sangat marah. Lalu perintah kepada Ki Juragan beserta balanya untuk menerjang musuhnya yang ada di Sidayu dan Tuban. Ki Juragan segera berangkat disertai bala dua ribu orang, orang Bali lima puluh. Gerakan prajuritnya sudah sampai di Sidayu, lalu terjadilah perang campuh dengan bala pesisir. Ki Juragan begitu bersemangat turun dari kudanya, ada di depan mengamuk beserta bala budak-belian. Banyak yang mati. Bala pesisir negeri melihat sepak-terjang amukan Ki Juragan dan orang Bali, lalu berlari ke Tuban menyusun barisan dan membangun benteng.

Tea Time bersama onder controleur, mungkin di Lamongan, tahun 1909 (Sumber: KITLV).

Sidayu sudah diduduki Ki Juragan dan bala dari Bali. Ki Juragan serta balanya mengejar musuhnya ke Tuban berniat menghancurkan benteng. Bala pesisir menyambutnya. Ki Tumenggung Tuban juga memiliki bala budak-belian sebanyak tujuh puluh orang. Mereka ini diadu untuk melawan perangnya Ki Juragan. Bala pesisir menyerbu dari samping kiri, dan samping kanan. Bala Ki Juragan banyak yang mati. Bahkan bala dari Bali yang berjumlah lima puluh itu sudah habis tewas semua. Ki Juragan beserta balanya diam-diam mengundurkan diri. Lalu utusan memberi tahu kepada Ki Panji Surengrana yang ada di Jipang atas keadaan di Tuban. Panji Surengrana setelah mendengar berita itu sangat marah. la segera berangkat dari Jipang beserta balanya untuk membantu Ki Juragan.

Begitu Jipang ditinggalkan Ki Panji Surengrana, maka kota Jipang diduduki lagi oleh Ki Tumenggung Karta Negara, serta mengerahkan bala manca-negari, Ki Tumenggung Karta Negara barisannya sudah besar. Adapun gerakan Panji Surengrana beserta balanya sudah sampai di Tuban lalu terjadi perang dengan Bupati Tuban serta bala pesisir. Panji Surengrana beserta balanya mengamuk. Bala Tuban banyak yang tewas lalu lari ke Lasem, mengumpulkan balanya yang sudah lari. Tuban sudah diduduki oleh Panji Surengrana. Lalu bantuan dari Patih Cakra Jaya datang di Lasem dipimpin Ki Adipati Citra di Jepara beserta balanya juga bersama Bupati Kudus, Demak, Pati, Juwana beserta balanya. Sudah berkumpul di Lasem. Barisan begitu besar. Lalu berangkat merebut Tuban.

Panji Surengrana dan balanya melarikan diri ke Paronggahan, sebab kebanjiran musuh besar. Tuban sudah direbut oleh bala pasisir. Sementara itu bala Kompeni dari Betawi sudah tiba di Semarang, jumlahnya tiga bregada. Terdiri dari macam-macam orang. Dari Belanda, Ambon, Ternate, Bugis, dan Makassar. Komandonya bernama Amral Brikman. Apalagi bala pesisir di sebelah barat Semarang juga sudah berkumpul di sana. Pada waktu itu Semarang begitu banyak orang dari berbagai daerah.

Setelah bala Kompeni istirahat, dua bregada diberangkatkan lewat laut dipimpin Kumendur Gobya di Semarang bersama Kapten Krasbun. Amral Brikman tinggal di Semarang bersama bala Kompeni satu bregada. Ki Patih Cakra Jaya ikut lewat di laut. Para bupati pesisir Tegal, Pekalongan, Kendal, Kali Wungu, Batang diperintah lewat darat. Begitu besar gerakan pasukan. Perjalanan Ki Patih dengan Kumendur singgah di Tuban menunggu bala yang lewat darat, serta mengumpulkan bala pesisir yang sudah ada di situ. Ki Patih lalu mengirimkan utusan ke Jipang, memanggil Ki Tumenggung Karta Negara dan orang mancanegari semua agar datang ke Surabaya. Tidak perlu melayani gerakan-gerakan kecil dari ulah Ki Sureng Rana dalam perjalanan. 

Hari datangnya di Surabaya dipastikan harus bersamaan dengan Ki Patih. Utusan segera berangkat. Sudah sampai di Jipang. Ki Tumenggung Kartanegara juga segera berangkat beserta balanya dari manca-negari. Di Jipang ditinggal bala secukupnya, dipimpin Ki Tumenggung Sura Wijaya. Perjalanan Ki Tumenggung dan balanya sudah sampai di Surabaya. Mereka mesanggrah dan mendirikan benteng di sebelah Selatan kota Surabaya, yaitu di desa Sepanjang. Balanya memenuhi sawah dan berjalan. Adapun Ki Patih Cakra Jaya dan Kumendur beserta serdadu Kompeni bersama datangnya di Surabaya menunju ke loji. Di situ bentengnya sudah dijaga serdadu Kompeni sejumlah empat puluh orang. Pada waktu itu sudah dicoba direbut oleh bala dari Surabaya, tetapi tidak berhasil. Kumendur lalu bertahan di situ lagi. 

Datangnya bala dari pesisir yang lewat darat jumlahnya tak terhitung. Lalu bertahan menjadi satu dengan Ki Patih Cakra Jaya. Banyaknya bala tumpah-ruah bagaikan samudra tanpa tepian, dalam keadaan siap-siaga. Serdadu Kompeni juga sudah mengarahkan mulut meriam ke arah luar benteng. Ki Patih Cakra Jaya dan Ki Tumenggung Karta negara mengirim utusan menyampaikan laporan kepada sang Prabu.

Berikutnya Perang Campuh Karta Sura dan Surabaya tak terhindarkan, Surabaya di kepung Karta Sura dengan hampir ratusan ribu pasukan.

Senin, 02 Maret 2020

RAJA-RAJA MAJAPAHIT DINASTI GIRINDRA (GIRINDRAWANGSA) BESERTA SILSILAHNYA

Sebuah Dinasti atau Wangsa atau Trah itu ada dan terlahir melalui proses panjang kesejarahan dari pendahulunya atau leluhurnya, demikian halnya dengan Dinasti raja-raja Majapahit. Dinasti raja-raja Majapahit adalah Rajasa (Rajasawangsa) atau dikenal pula dengan sebutan Dinasti Girindra (Girindrawangsa). Pemahaman kosmogoni Çiwa-Buddha menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga Majapahit menamakan diri mereka sebagai Girindrawangsa, yang berarti ‘Keluarga Gunung Indra’.

Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr. Boechari, “While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi Wilwatikta-Janggala-Kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.

Sebagai kepala pemerintahan, Raja atau Ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Çrĩ Maharaja. Sedangkan untuk para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, seperti Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. Jabatan untuk anggota keluarga kerajaan disesuaikan dengan gendernya, seperti gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker, dijabat oleh pria. Sedangkan, gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan, jatah untuk wanita. Adapun untuk gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria maupun wanita, asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang Prabhu. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the Royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Dan, jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, maka mandala-mandala akan diperluas sesuai dengan kebutuhan, seperti Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, Bhre Pamotan, Bhre Keling, Bhre Pakembangan, Bhre Tanjungpura, Bhre Singhapura, Bhre Kembangjenar, Bhre Jagaraga, dan Bhre Pandansalas.

Dinasti Raja-Raja Majapahit merupakan keturunan langsung dari Ken Angrok atau Çrĩ Rangga Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, yaitu pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Singhasari. Oleh karena itu, kerajaan Singhasari dengan Majapahit mempunyai hubungan yang sangat dekat. Menurut Pararaton, kerajaan Singhasari runtuh pada tahun 1197 Çaka/1275 M, ditandai dengan adanya dua peristiwa penting, yakni Peperangan Tumapel atau Pemberontakan raja Jayakatwang dari kerajaan Glaŋ-Glaŋ Bhũmi Wurawãn, dan wafatnya Bhatara Çiwa-Buddha/Çrĩ Kertanagara (raja terakhir Singhasari). Sedangkan versi Nãgarakṛtãgama, Bhatara Çiwa-Buddha/Çrĩ Kertanagara wafat pada Tahun 1214 Çaka/1292 M. Setelah runtuhnya kerajaan Singhasari, kemudian munculah era baru, yaitu berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1216 Çaka/1294 M. Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya/Çrĩ Kṛtarãjasa Jayawarddhana/Narāryya Sanggramawijaya, sekaligus sebagai raja Majapahit pertama (1294-1309 M). 

Kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari Kerajaan Singhasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya merupakan putra dari Mahisa Campaka, Ratu Anggabhaya Singhasari yang bergelar abhiseka Bhatãra Narasinga. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng. Dan, Mahisa Wong Ateleng merupakan anak Ken Angrok dengan Ken Dedes. Sedangkan versi Nãgarakṛtãgama, Dyah Wijaya (Raden Wijaya) merupakan cucu dari Bhatara Narasingamurti, dan ayah Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal. Terkait dengan silsilah Raden Wijaya tersebut, Nãgarakṛtãgama menjelaskan bahwa pernikahan Raden Wijaya dengan putri-putri Çrĩ Kertanagara dalam hubungan kekeluargaan yang sangat dekat, yakni keturunan tingkat ketiga [Raden Wijaya sebagai menantu Çrĩ Kertanagara, terberitakan dalam Prasasti Kudadu (1216 Çaka/1294 M), Prasasti Sukamṛta (1218 Çaka/1296 M), Prasasti Balawi (1227 Çaka/1305 M), Kakawin Nãgarakṛtãgama/Deçawarṇana (1287 Çaka/1365 M), dan Kitab Pararaton/Naskah Katuturanira (1535 Çaka/1613 M)].

Tingkatan keturunan (keturunan tingkat ketiga) tersebut dihitung mulai dari Bhatara Wisnuwardhana (Narāryya Sminiŋrāt) yang segenerasi dengan Bhatara Narasinghamurti (Narāryya Waning Hyun), [Bhatara Wisnu (Narāryya Sminiŋrāt) bersepupu (berarti keluarga dekat) dengan Bhatara Narasinghamurti (kakek Raden Wijaya)]. Lalu, Çrĩ Kertanagara segenerasi dengan Dyah Lembu Tal (ayah Raden Wijaya). Dan, empat putri Çrĩ Kertanagara segenerasi dengan Raden Wijaya/Çrĩ Kṛtarãjasa Jayawarddhana/Narāryya Sanggramawijaya. Silsilah raja-raja Singhasari versi Nãgarakṛtãgama adalah sebagai berikut: Rangga Rajasa (Ken Angrok), yang merupakan cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa, setelah wafat kemudian digantikan oleh putranya, yakni Bhatara Anusapati. Selanjutnya Bhatara Anusapati digantikan oleh putranya bernama Bhatara Wisnuwardhana. Lalu setelah Bhatara Wisnuwardhana, kemudian digantikan oleh putranya, yaitu Çrĩ Kertanagara. 

Dewata Nawa Sanga Dalam Surya Majapahit, Lambang Kerajaan Majapahit 

Pada tahun 1257 Çaka/1335 Masehi, Raden Wijaya/Çrĩ Kṛtarãjasa Jayawarddhana wafat (versi Pararaton). Sedangkan versi Nãgarakṛtãgama pupuh 47 bait 3, Raden Wijaya wafat pada tahun 1231 Çaka/1309 M. Lebih betul versi Nãgarakṛtãgama. Sepeninggal Raden Wijaya, putranya dari istri selir Dara Petak (versi Pararaton) ditasbihkan menjadi raja Majapahit, yaitu Bhre Daha II/Raden Kalagemet/Bhatara Jayanagara pada tahun 1231 Çaka/1309 M, raja Majapahit ke-2 (1309-1328 M). Sedangkan versi Nãgarakṛtãgama, Jayanagara merupakan putera Raden Wijaya dengan Indreswari. Jayanagara memerintah Majapahit cukup lama, yakni selama 19 tahun. Hingga akhirnya pada tahun 1250 Çaka/1328 M, beliau wafat dibunuh oleh Tabib Ra Tañca.

Selanjutnya, Jayanagara digantikan oleh adiknya (beda ibu), yakni Bhreng Kahuripan II/Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, raja Majapahit ke-3 (1328-1350 M). Versi Nãgarakṛtãgama, Rani Jiwana Tribhuwana Wijayatunggadewi merupakan anak Raden Wijaya dengan Gayatri Rajapatni (putri bungsu Bhatara Çiwa-Buddha/Çrĩ Kertanagara), dan beliau mendaki tahta Wilwatikta pada tahun 1251 Çaka/1329 M. Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ memerintah Majapahit selama 22 tahun. Dalam pernikahannya dengan Raden Cakradhara Kṛtawardhana/Bhre Tumapel I, Çrĩ Tribhuwanottuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ dikaruniai tiga orang putra, salah satunya adalah Bhra Hyang Wekasing Sukha I/Bhre Kahuripan III/Çrĩ Rãjasanagara/Hayam Wuruk, raja Majapahit ke-4 (1350-1389 M). 

Menurut Nãgarakṛtãgama, Hayam Wuruk lahir pada tahun 1256 Çaka/1334 M. Dan, diceritakan pula selama beliau dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda-tanda keluhurannya, yakni berupa gempa bumi, kepul asap, hujan abu, gemuruh halilintar menyambar-nyambar, dan gunung meletus. Adanya peristiwa bencana alam pada tahun kelahiran Hayam Wuruk (1256 Çaka/1334 M) kemudian ditafsirkan sebagai pertanda bahwa akan terjadi perubahan besar di Majapahit. Peristiwa bencana alam tersebut tercatat dalam Pararaton: "..Tumuli guntur Pabañupindah i Çaka 1256.." (gunung meletus dan banjir bandang/banjir lahar di tahun Çaka 1256/1334 Masehi). Dan, juga tercatat dalam Nãgarakṛtãgama: "..hudan hawu..guntur ttaɳ himawan ri kampud.." (hujan abu..gemuruh letusan gunung kelud), riɳ çaka rttu çarena (1256 Çaka/1334 Masehi). 

Hayam Wuruk memerintah Majapahit sangat lama, yakni selama 39 tahun. Dalam masa pemerintahan yang panjang ini, Hayam Wuruk didampingi oleh Mahapatih Amangkubhumi Majapahit atau Rakryan Patih Majapahit, yakni Pu Gajah Mada. Pada saat itulah kerajaan Majapahit mencapai masa keemasannya atau kejayaannya. Setelah Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 M, yang ditunjuk sebagai pengganti adalah menantunya, yaitu Bhre Mataram I/Bhra Hyang Wiçesa/Raden Gagak Sali/Aji Wikramawarddhana, raja Majapahit ke-5. (1389-1400 M). Aji Wikramawarddhana merupakan suami dari Bhatara-Stri/Bhre Kabalan I/Bhre Lasem III/Sang Ahayu Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ, raja Majapahit ke-6. (1400-1429 M). Menurut Pararaton, pada tahun 1400 M, Raden Gagak Sali/Aji Wikramawarddhana memutuskan untuk menjadi Bhagawan. Kemudian istrinya, Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ, menggantikannya sebagai raja Majapahit. 

Sosok Diduga Mahapatih Amangkubhumi Majapahit Pu Gajah Mada 

Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ merupakan putri Hayam Wuruk dengan Pãduka Çorĩ (Parameçwarĩ Çrĩ Sudewĩ). Hayam Wuruk juga mempunyai seorang putra laki-laki dari istri selir, yakni Bhre Wirabhumi II/Aji Rajanatha. Diakuinya Raden Gagak Sali/Aji Wikramawarddhana sebagai raja Majapahit membuat putra Hayam Wuruk dari istri selir yang bernama Aji Rajanatha/Bhre Wirabhumi II tidak terima dan melakukan perlawanan. Maka terjadilah perseteruan besar dikalangan sesama anggota istana yang dikenal dengan nama Paregreg (peristiwa huru-hara) pada tahun 1404 M hingga tahun 1406 M. Pada tahun 1406 M, terjadi peristiwa Paregreg Agung, yang ditandai dengan wafatnya Bhre Wirabhumi II/Aji Rajanatha yang tewas dibunuh kemudian kepalanya dipenggal oleh Raden Gajah, gelarnya Ratu Anggabhaya, Bhra Narapati, kemudian kepalanya dibawa ke Majapahit (keraton Barat). Pada masa itulah, Majapahit mulai mengalami kemerosotan. 

Setelah masa pemerintahan Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ berakhir, selanjutnya tahta kerajaan Majapahit dipegang oleh menantunya, yaitu Bhre Koripan V/Bhra Hyang Parameçwara/Aji Ratna Pangkaja, raja Majapahit ke-7 (1429-1437 M). Aji Ratna Pangkaja merupakan suami dari Bhre Daha V/Bhra Prabhu Stri Dewi Suhita, raja Majapahit ke-8 (1437-1447 M). Suhita merupakan anak ke-2 dari perkawinan Aji Wikramawarddhana dengan Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ. Pernikahan Prabhu Stri Dewi Suhita dengan Aji Ratna Pangkaja tidak dikaruniai keturunan, maka hak atas tahta kerajaan Majapahit kemudian diberikan kepada adik kandung Suhita, yakni Bhre Tumapel III/Çrĩ Kṛtawijaya, raja Majapahit ke-9 (1447-1451 M). Çrĩ Kṛtawijaya merupakan anak bungsu Aji Wikramawarddhana dengan Rãjasawarddhanĩ/Kusumawarddhanĩ. Setelah masa pemerintahan Çrĩ Kṛtawijaya berakhir, selanjutnya Majapahit diperintah oleh Sang Sinagara Dyah Wijayakumãra/Bhre Pamotan II/Bhre Keling II/Bhre Kahuripan VI/Çrĩ Rãjaçawarddhana, raja Majapahit ke-10 (1451-1453 M). 

→ 3 tahun tidak ada raja (versi Pararaton) 

Setelah 3 tahun terjadi kekosongan kekuasaan, kemudian Bhre Wengker III/Dyaḥ Suryyawikrama Girĩçawarddhana menjadi raja Majapahit ke-11 (1456-1466 M), beliau bergelar abhiseka Bhra Hyang Purwawiçesa. Setelah wafatnya Bhra Hyang Purwawiçesa kerajaan Majapahit dipimpin oleh putranya, yakni Bhre Pandan Salas III/Bhre Tumapel IV/Dyaḥ Suraprabhawa Singhawikramawarddhana, raja Majapahit ke-12 (1466-1468 M) [versi Pararaton]. Sedangkan versi prasasti Pamintihan, prasasti ini dikeluarkan oleh raja Majapahit bernama Dyaḥ Suraprabhawa Singhawikramawarddhana pada tahun 1395 Çaka/1473 M. Dari prasasti itu diketahui bahwa raja Dyaḥ Suraprabhāwa dikatakan sebagai “Penguasa tunggal di Bhūmi Jawa yang terdiri dari Janggala dan Kadiri”. Beliau diperkirakan sebagai Bhre Pandan Salas, sehingga berdasarkan identifikasi itu pendapat mengenai masa pemerintahan Dyaḥ Suraprabhawa Singhawikramawarddhana hanya dua tahun dapat dibantah, kemungkinan masa pemerintahannya hingga 1474 M. Setelah masa pemerintahan Dyaḥ Suraprabhawa Singhawikramawarddhana berakhir, kemudian tahta kerajaan Majapahit dipegang oleh Bhre Kertabhumi, raja Majapahit ke-13 (1468/1474-1478 M). Bhre Kertabhumi merupakan anak bungsu Sang Sinagara Dyah Wijayakumãra/Çrĩ Rãjaçawarddhana, dan juga keponakan Dyaḥ Suraprabhawa Singhawikramawarddhana. Pada tahun 1400 Çaka/1478 M, terjadi serangan dari Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya bersama tentara Kadiri terhadap Bhre Kertabhumi. Akibat serangan itu, Bhre Kertabhumi wafat, dan tahta kerajaan Majapahit akhirnya direbut oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, raja Majapahit ke-14 (1478-1519 M). Pada masa pemerintahan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya inilah, Majapahit mengalami keruntuhan antara tahun 1519-1525 M. 

Rabu, 11 Desember 2019

RAKRYAN PATIH MAJAPAHIT PU GAJAH MADA BERASAL DARI LAMONGAN?

Pada kisaran tahun 1870-an, J.A.B. Wiselius, seorang controleur Jawa dan Madura, mencatat dan melapor ke Pemerintah Residence dan Pusat mengenai keberadaan suku atau komunitas Modo di wilayah District Lengkir Afdelling Lamongan yang selalu mengkaitkan nama Modo dan beberapa tempat kuno di sekitarnya dengan tokoh Rakryan Patih Majapahit Pu Gajah Mada. 

Sosok diduga Gajah Mada, Sablon Kaos Produksi Oblong Majapahit, Trowulan - Mojokerto 

Laporan Wiselius tersebut merujuk pada cerita tutur atau folklore yang berkembang di masyarakat. Menurut cerita lokal masyarakat Modo, disebutkan ada banyak tempat-tempat kuno dan petilasan di sekitar wilayah Modo dan Ngimbang yang berkaitkan dengan Gajah Mada, seperti situs megalitik (punden berundak) Sitinggil di Modo dan Makam Dewi Andong Sari (makam ibunda Gajah Mada) di Gunung Ratu, Ngimbang. 

Situs Megalitik (Punden Berundak) Sitinggil di Dusun Medalem, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Folklore mengenai Gajah Mada tersebut tentunya bukanlah cerita baru atau Hoax hasil bualan orang zaman sekarang. Cerita tutur tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi hingga kini. Perlu untuk diketahui bahwa baik cerita tutur atau folklore maupun data tekstual (prasasti atau susastra) sama-sama merupakan sumber sejarah.

Anak Tangga Menuju Makam Ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu, Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Sebagai informasi, di wilayah Kecamatan Modo terdapat 4 prasasti batu yang diduga peninggalan Raja Airlangga (Raja Medang Kahuripan) atau anaknya, Mapañji Garasakan (Raja Jaṅgala Kahuripan), yakni prasasti Sambangan I & II (Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo), prasasti Lebak (Lokasi Dusun Lebak, Desa Mojorejo), dan prasasti Sedah (Lokasi Dusun Sedah, Desa Pule). Perlu untuk diketahui bahwa prasasti-prasasti Airlangga di Lamongan masuk pada fase konsolidasi. Pada masa fase konsolidasi biasanya isi prasasti menjelaskan pemberian anugerah sīma kepada desa tertentu karena jasa mereka dalam membantu raja pada saat peperangan. Jadi, Joko Modo (nama kecil Gajah Mada) dibesarkan di tanah pemberani yang berstatus Sima Swatantra pada masa Airlangga. 

Prasasti Sambangan I, Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Sesuai dengan nama daerah dimana Gajah Mada dibesarkan, yakni Modo atau Mada. Dalam bahasa Sanskerta (India Kuno) Mada bermakna "mabuk", juga bisa bermakna "sombong". Dan, di Jawa, Mada diberi makna baru menjadi "berani". Contoh lain: Kata Mudha kalau dalam bahasa Sanskerta bermakna "bodoh", tapi di Jawa bermakna "anom".

Gajah sendiri bukan bahasa asli Nusantara, tapi dari bahasa Sanskerta. Beberapa nama Gajah lainnya dalam bahasa Sanskerta ialah:

1) Dwipāngga = dwipa + angga, artinya badan (sebesar) pulau.
2) Dwirada = dwi + rada, artinya (memiliki) dua taring (gading).
3) Hasti = dari kata "hasta", artinya "tangan". Yaitu, hewan yang memiliki tangan berwujud belalai.

Sedangkan, bahasa Jawa asli untuk menyebut Gajah adalah Liman dari kata "lima", maksudnya ialah: "hewan yang (seolah) memiliki lima kaki (4 kaki + 1 belalai)"

Jadi, Joko Modo (pemuda dari Modo), ketika berkarier di Majapahit merubah namanya menjadi Gajah Mada, yang bermakna Gajah yang berani, atau Gajah yang tidak takut mati, atau Gajah yang Heroik. Karena beliau dibesarkan atau berasal dari tanah Modo atau Mada yang bermakna "berani".

Prasasti Sambangan II, Lokasi Dusun Sambangan, Desa Sambanganrejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Cerita tutur mengenai Gajah Mada yang lahir di Gunung Ratu - Ngimbang dan dibesarkan di Modo, dapat dihubungkan dengan peristiwa Pemberontakan Ra Kuti. Pararaton mengisahkan:

"..Kemudian muncul peristiwa (pemberontakan) Ra Kuti. Ketika Ra Kuti belum mati, raja (Jayanagara) bermaksud diungsikan pergi ke Badander. Perginya pada waktu malam, tidak ada seorangpun yang tahu, hanya diiringi oleh pasukan Bhayangkara, semuanya yang kebetulan menjaga ketika raja pergi, ada sebanyak lima belas orang. Pada waktu itu Gajah Mada menjadi Bekel (kepala pasukan) Bhayangkara, kebetulan waktu itu mendapat tugas menjaga, itulah sebabnya dia mengiringkan raja ketika pergi. Lamalah raja di Badander.." [Sumber: Kitab Pararaton atau Naskah Katuturanira Bagian VIII - J.L.A. Brandes, 1897, Pararaton (Ken Angrok) of  Het Boek Der Koningen van Tumapěl en van MAJAPAHIT].

Prasasti Sedah, Lokasi Dusun Sedah, Desa Pule, Kecamatan Modo - Lamongan 

Terkait toponimi Baḍaṇḍĕr, di Kabupaten Jombang terdapat Dusun bernama Bedander yang masuk wilayah Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh (nama Dusun pasti lebih tua dari nama Desa). Wilayah Kecamatan Kabuh - Jombang berbatasan langsung dengan wilayah Lamongan Selatan. Jadi, letak Bedander dekat dengan Gunung Ratu (Makam Ibunda Gajah Mada), dan juga dekat dengan Modo. Sehingga patut diduga, Gajah Mada mengungsikan raja Jayanagara ke Badander dengan pertimbangan penguasaan medan daerah itu, juga dukungan warga setempat, karena dekat dengan tanah kelahirannya.

Prasasti Lebak, Lokasi Dusun Lebak, Desa Mojorejo, Kecamatan Modo - Lamongan 

Tidak jauh dari Bedander, tepatnya di Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang, terdapat prasasti batu yang diduga peninggalan Raja Airlangga, yakni Prasasti Kusambyan. Prasasti berbahan andesit dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna ini menyebut dua lokasi penting, yaitu Kadatwan/Kedaton Maḍaṇḍĕr dan Desa Kusambyan yang dikukuhkan menjadi daerah perdikan/Sima (Sumber: Titi Surti Nastiti, Prasasti Kusambyan: Identifikasi lokasi Madander dan Kusambyan. AMERTA. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi vol 31 no 1 Juni 2013, hal 1-80). Kata Madaṇḍĕr mengingatkan kita pada daerah Baḍaṇḍĕr yang disebutkan dalam teks Pararaton. Meskipun ada perubahan nama dari Maḍaṇḍĕr ke Baḍaṇḍĕr, tetapi secara toponimi perubahan ini bisa diterima. Baḍaṇḍĕṛ adalah nama tempat pengungsian raja Jayanagara. Jadi, patut diduga bahwasanya raja Jayanagara waktu itu diungsikan di suatu tempat yang dulunya merupakan keraton/istana pada masa Airlangga. 

Prasasti Kusambyan/Grogol, Lokasi Dusun Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu - Jombang 

Dugaan bahwa Gajah Mada berasal dari Lamongan cukup beralasan, karena jarak antara Bedander dengan Gunung Ratu - Ngimbang tidaklah jauh, begitu pula dengan Modo. Suatu kebiasaan, jika ada situasi Chaos di ibu kota maka para penguasa akan berusaha menyelamatan diri ke daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan pertimbangan agar mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat sekitarnya, di samping juga penguasaan medan sehingga banyak membantu untuk perjuangan berikutnya.

Makam Ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu, Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Di dekat makam ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu yang berlokasi di Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, juga terdapat prasasti batu peninggalan Raja Airlangga, yakni Prasasti Sendangrejo 965 Çaka/1043 M yang terletak di Dusun Titing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan (Lokasi keduanya berada pada satu Desa, cuma beda Dusun). Prasasti Sendangrejo dikeluarkan oleh Raja Airlangga dengan gelar abhiseka Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawaṅça Airlaṅga Anãntawikramottuṅgadewa dengan Çrĩ Sanggrãmawijaya Dharmmaprasãdottunggadewa sebagai Rakryãn Mahãmantrĩ i Hino-nya.  Adalah sebuah hal yang layak dan pantas, jika seorang tokoh besar seperti Gajah Mada dilahirkan di tanah para pemberani yang berstatus Sima Swatantra pada masa Airlangga.

Prasasti Sendangrejo, Lokasi Dusun Titing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Makam ibunda Gajah Mada di Gunung Ratu juga bertambah semakin spesial dengan ditemukannya Lampu Kuno era Majapahit pada tahun 1937. Lokasi temuan lampu kuno berbahan perunggu ini masuk wilayah Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan, jaraknya-pun dekat dengan makam ibunda Gajah Mada (Satu Desa beda Dusun). Lampu kuno dengan atap berbentuk Meru ini memiliki tinggi 24 cm serta panjang rantai 44 cm, dan sekarang menjadi koleksi atau disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode 6027. 

Menariknya, pada lampu kuno yang pernah menjadi Seri Kartu Pos terbitan Museum Royal Society of Batavia bidang Seni dan Sains (Seri D. Juli 1937) ini terdapat angka tahun 1270 Çaka/1348 M, tahun era Majapahit masa pemerintahan Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, raja Majapahit ke-3. (Sumber: KITLV - Bronzen lamp uit de dertiende-vijftiende eeuw, afkomstig uit Lamongan in het Museum van het Bataviaasch Genootschap, http://media-kitlv.nl). 

Lampu Kuno Era Majapahit, Lokasi Temuan di Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang - Lamongan 

Jika melihat tampilan dan model lampu, serta bahan lampu yang bisa dibilang mewah pada masanya itu, sehingga patut diduga jika pemilik lampu tersebut merupakan orang dalam istana, bisa raja, kerabat/keluarga raja, atau pejabat tinggi istana. Prasasti Prapancasarapura (OJO, LXXXIV) 1259 Çaka/1337 M yang di keluarkan Maharaja Çrĩ Tribhuwanattuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ, menyebut jabatan Rakryan Patih saat itu dijabat oleh Pu Gajah Mada. 

Jadi, pada tahun 1270 Çaka/1348 M (angka tahun yang terdapat di Lampu Kuno), Gajah Mada saat itu statusnya adalah sebagai pejabat tinggi istana, karena masih menjabat sebagai Rakryan Patih. Perlu untuk diketahui bahwa Gajah Mada menjabat sebagai Rakryan Patih hingga masa pemerintahan Çrĩ Rãjasanagara/Hayam Wuruk, raja Majapahit ke-4. (Sumber: Prasasti Batur dan Prasasti Bendasari 1272 Çaka/1350 M). 

Karena minimnya catatan sejarah mengenai biografi Rakryan Patih Majapahit Pu Gajah Mada, pada akhirnya membuat kita hanya bisa menduga-duga dari mana sebenarnya beliau berasal, siapa ibunya, dan siapa bapaknya?.

Senin, 23 September 2019

GARUḌA THE SON OF WINATĀ

In the Hindu mythology, the Garuḍa whose statues are found in great numbers is regarded as the vehicle of Vishnu. 

Arca Garuḍa yang berfungsi sebagai pancuran air (Jaladwara berbentuk Garuḍa) ini terbilang unik dan langka. Pertama, karena kondisinya masih insitu dan ditemukan menempel pada dinding bagian Barat Pathirtan Sumber Beji (Sumber Beji, Kesamben, Ngoro, Jombang) posisi sebelah kanan. Kedua, pada kepala Garuḍa yang menghadap ke kiri ini terdapat mahkota atau hiasan bermotif Tengkorak (Tengkorak identik Bhairawa?). 

Arca Garuḍa yang Berfungsi Sebagai Pancuran air 

Selebihnya bisa ditafsirkan sebagai adegan dalam cerita Garuḍeya. Seperti pada tangan kanan Garuḍa yang terlihat mencengkeram leher ular yang kepalanya menempel di lengan kanan anak Sang Winata ini, sedangkan bagian tubuh lainnya si ular terlihat melilit dipergelangan tangan kanan sang Garuḍa. 

Penulis Blog Foto di Samping Garuḍa 

Tangan kirinya membawa Kendi Kamaṇḍalu atau Bejana berbentuk bulat yang berisi tirtha amŗta sebagai syarat untuk menebus kebebasan ibunya, Sang Winata. Dan, kaki kirinya terlihat mencengkeram erat dan menginjak badan ular yang kedua. Tidak hanya itu, ekor si ular tersebut juga diganjal dengan lutut kaki kanan sang Garuḍa. Kedua ular yang dicengkeram tersebut merupakan anak Sang Kadru. 

Kisah Garuḍeya ini berasal dari cerita Samudramanthana atau dikenal pula dengan nama Amŗtamanthana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata, yaitu Ādiparwa. 

Senin, 16 September 2019

MAKAM LELUHUR MENTERI LUAR NEGERI BELANDA, STEFANUS ABRAHAM BLOK

Di Waduk Prijetan/Krekah, Kedungpring - Lamongan terdapat sebuah makam Belanda, warga setempat menyebutnya makam Tuan Bligoor atau makam Londo Ireng. Menurut warga, Tuan Bligoor dulunya merupakan seorang petugas kontrol di Waduk Prijetan. Beliau mengabdi hingga akhir hayatnya, dan dimakamkan di area Waduk. Pada nisan makamnya tertulis nama JF A Dligoor yang lahir (GEB = Geboren) pada tahun 1860, dan meninggal (OVERL = Overleyen) pada tahun 1930. 

Makam Tuan Bligoor atau Makam Londo Ireng 

Makam Belanda, JF A Dligoor 

Dalam dokumen mengenai pembangunan Waduk Prijetan (dibangun tahun 1909 dan selesai serta diresmikan tahun 1917) disebutkan ada 4 insinyur yang terlibat dalam merancang serta membangun Waduk ini, mereka adalah Tuan Birman, Tuan Delos, Tuan Trong, dan Tuan Dliger. Nama terakhir dari keempat insinyur tersebut ada kemiripan dengan nama di nisan makam, yakni Dliger dengan Dligoor. Dan, Tuan Dliger sendiri diduga merupakan buyut dari Menteri Luar Negeri Belanda, Stefanus Abraham Blok. 

Minggu, 08 September 2019

LAMPU KUNO ERA MAJAPAHIT ASAL NGIMBANG - LAMONGAN

Bronzen lamp uit de veertiende-vijftiende eeuw, afkomstig uit Lamongan in het Museum van het Bataviaasch Genootschap. Prentbriefkaart uitgegeven door het Museum van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Serie D. Juli 1937). {sumber: http://media-kitlv.nl} . 

Foto Lampu Koleksi KITLV Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Published: 1937. 

Lokasi temuan lampu kuno berbahan perunggu ini secara administrasi masuk dalam wilayah Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Ngimbang - Lamongan. Lampu kuno era Majapahit ini ditemukan di dalam sebuah kendogo (bejana), semacam periuk nasi pada tahun 1937. Lampu kuno dengan atap berbentuk Meru ini memiliki tinggi 24 cm serta panjang rantai 44 cm, dan sekarang menjadi koleksi atau disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode 6027. 

Menariknya, pada lampu kuno yang pernah menjadi Seri Kartu Pos terbitan Museum Royal Society of Batavia bidang Seni dan Sains (Seri D. Juli 1937) ini terdapat angka tahun 1270 Çaka/1348 M, era Majapahit masa pemerintahan Dyaḥ Gĩtãrjjã Çrĩ Tribhuwanottuṅgadewĩ Jayawiṣṇuwarddanĩ (Bhreng Kahuripan II). Ratu Tribhuwana Tunggadewi merupakan penguasa wanita pertama (raja wanita pertama) dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit, tepatnya raja Majapahit ke-3 (1328-1350 M). 

Tidak jauh dari lokasi temuan lampu kuno ini terdapat makam ibunda Gajah Mada, yakni makam Dewi Andong Sari di Gunung Ratu, Ngimbang - Lamongan. Jika melihat tampilan dan model lampu yang bisa dibilang mewah pada masanya itu, patut diduga jika pemilik lampu tersebut merupakan orang dalam istana, bisa kerabat atau keluarga raja. 

Sabtu, 07 September 2019

PRASASTI BUTULAN

Prasasti Butulan secara administratif terletak di Desa Gosari, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Isi prasasti yang terpahat di dinding Goa bunyinya sebagai berikut:

"Diwasani ngambal 1298 duk winahon denira San(g) Rama Samadya makadi siri Buyut Arjah Talikur si raka durahana"

"Pada tahun 1298 Çaka/1376 M di ambal waktu itu didiami oleh San(g) Rama Samadya Buyut Arjah Talikur yang tersingkirkan"

Prasasti Butulan yang Terpahat di Dinding Goa

"Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata." (Bung Karno)

Pelajaran yang bisa kita petik: Orang zaman dulu kalau lagi sakit hati akibat disingkirkan, pelariannya ya ke atas Gunung atau di dalam Goa untuk menenangkan diri sambil mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beda dengan orang zaman sekarang, Ampuunnn.. Nyinyirnya itu lho nggak ketulungan, Nyinyir kok terus terusan. Hahahahahaha.. 

MEGALIETEN TE MODO BIJ LAMONGAN

Situs megalitik ini secara administrasi terletak di Desa Mojorejo, Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan. Peninggalan masa lampau berupa tatanan batu alami berbentuk punden berundak ini oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Sitinggil (Siti artinya tanah dan Inggil artinya tinggi). Jika diamati, situs megalitik Sitinggil ini hampir mirip seperti candi Pendawa yang ada di gunung Pawitra/Penanggungan. Perlu untuk diketahui bahwa percandian yang ditemukan di gunung Penanggungan mayoritas berbentuk punden berundak, yang mana bentuk bangunan ini merupakan bentuk bangunan budaya megalitikum asli lokal dengan puncaknya berupa altar dan kemuncak. 

Foto Sitinggil Koleksi KITLV Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Published Between 1941 and 1953. 

Pada kisaran tahun 1870-an, J.A.B. Wiselius, seorang controleur Jawa dan Madura, mencatat dan melapor ke Pemerintah Residence dan Pusat mengenai keberadaan suku atau komunitas Modo di wilayah District Lengkir Afdelling Lamongan yang selalu mengkaitkan nama Modo dan beberapa tempat kuno di sekitarnya dengan tokoh Mahapatih Gajah Mada. 

Foto Sitinggil Tahun 2017 Koleksi Pribadi Penulis Blog

Laporan Wiselius tersebut merujuk pada cerita tutur/folklore yang berkembang di sana. Menurut cerita lokal masyarakat Modo disebutkan ada banyak tempat-tempat kuno dan petilasan di sekitar wilayah Modo dan Ngimbang yang berkaitkan dengan Gajah Mada, seperti situs megalitik Sitinggil di Modo dan Makam Dewi Andong Sari (makam ibunda Gajah Mada) di Gunung Ratu, Ngimbang.

Menurut cerita tutur, dahulu sewaktu Gajah Mada masih kecil sering melihat iring-iringan pasukan kerajaan Majapahit dari atas bangunan punden berundak Sitinggil, ketika sedang menggembala kerbau. Situs megalitik Sitinggil posisinya memang cukup tinggi, karena itu Joko Modo (pemuda dari Modo, nama Gajah Mada sewaktu masih kecil) bersama teman-temannya selalu memantau kerbau-kerbau peliharaan mereka dari atasnya. 

Folklore mengenai Gajah Mada tersebut tentunya bukanlah cerita baru atau Hoax hasil bualan orang jaman sekarang. Cerita tutur tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan secara turun temurun terus dituturkan dari generasi ke generasi. Perlu untuk diketahui bahwa baik cerita tutur/folklore maupun data tekstual (prasasti atau susastra) sama-sama merupakan sumber sejarah.  

Jumat, 06 September 2019

DE RIVIER VAN SOLO, IN HET DISTRICT VAN LAMONGAN - EILD JAVA

Gezicht op de rivier de Solo, op de grens van het district Lamongan. Op het middenplan de slingerende rivier, bevaren door vissersscheepjes met bamboe latijnzeil en met begroeide en bebouwde oevers op de achtergrond. Op de voorgrond links een inheemse regent met gevolg en (vermoedelijk) Ver Huell. (Sumber: http://maritiemdigitaal.nl/index.cfm?event=search.getdetail&id=100161263

Lukisan Bengawan Solo di wilayah Lamongan ini menggambarkan keindahan pemandangan Bengawan Solo waktu itu. Di dalam sungai yang bentuknya digambarkan berkelok-kelok ini terlihat beberapa nelayan sedang berlayar mengarungi arusnya dengan menggunakan perahu kecil dan sampan bambu. Sungai terpanjang di pulau Jawa ini juga tampak sejuk karena di sepanjang tepi sungainya ditumbuhi banyak tanaman dan pepohonan. 

Dalam lukisan tersebut digambarkan pula penguasa setempat (Bupati) beserta para pengawalnya, dan (mungkin) Ver Huell sedang berdiri di pinggir sungai. Lukisan karya Ver Huell ini dibuat sekitar tahun 1820-1835, dan sekarang disimpan di Maritiem Museum Rotterdam - Belanda.

Lukisan Bengawan Solo di wilayah Lamongan Karya Ver Huell 

Seperti diketahui bahwa Lamongan dianugerahi dua sungai besar yang membujur dari Barat ke Timur. Kedua sungai itu yakni, Bengawan Solo beserta anak sungainya (Bengawan Njero) yang membelah bagian Tengah dan Utara Lamongan, dan Sungai/Kali Lamong yang membujur di wilayah Selatan. Kedua sungai tersebut menjadi urat nadi perekonomian pada zaman dulu, di saat moda transportasi masyarakat masih bergantung pada transportasi air (perahu/kapal), dan sungai sebagai jalur utamanya. Jadi, pada masa itu sungai menjadi satu-satunya penghubung sosial-budaya dan ekonomi masyarakat, mengingat masih sulitnya transportasi darat. 

Berdasarkan sumber data tekstual, nama Bengawan Solo beserta desa-desa di tepian sungainya telah disebut dalam Prasasti Canggu atau Ferry Charter 1280 Çaka/1358 Masehi (07 Juli 1358). Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk (Çrĩ Rãjasanagara) tersebut menyebut puluhan desa atau deretan desa (Pradesa) di sepanjang tepi bengawan (Naditira), yakni Bengawan Solo dan Sungai Brantas beserta anak-anak sungainya, yang ditetapkan sebagai desa perdikan (sima) atau mendapat anugerah status istimewa (sima) berkat jasanya dalam penyeberangan sungai (penambangan).  

Berikut nama-nama desa di Lamongan yang berstatus Naditira Pradesa berdasarkan Prasasti Canggu/Ferry Charter (1280 Çaka/1358 M) [sumber: Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit - Parwa II, hlm. 99] :
"...muwaḥ prakãraning naditira pradeça sthananing anãmbangi i maḍantĕn . i waringin wok . i bajrapura . i sambo . i jerebeng . i pabulangan . i balawi . i luwayu . i katapang . i pagaran . i kamudi . i parijik . i parung . i pasiwuran . i kĕḍal . i bhangkal . i wiḍang..."

FOLKLOR CANE BUKTI AIRLANGGA DAN GARUḌAMUKHA BERJAYA DI BUMI JANGGALA

Cerita tutur merupakan salah satu bentuk kearifan lokal. Tradisi menuturkan peristiwa sejarah sudah lama diperkenalkan oleh leluhur kita seb...